PENGGUNAAN HANGEUL
KOREA OLEH SUKU CIACIA DI BAUBAU SULAWESI TENGGARA
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Sekarang ini wabah
Korea sudah menyebabar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Minat masyarakat untuk mengetahui lebih banyak tentang negeri ginseng tersebut
sangat tinggi. terutama di kalangan remaja, namun bukan hanya kaum remaja saja
yang tergila-gila pada semua hal yang berbau Korea, tapi juga para orang tua.
Semua tentang Korea menarik untuk dipelajari. Mulai dari musiknya, makanan,
tempat wisata, sampai bahasanya.
Banyak orang yang sudah bisa mengucapkan kosa kata Korea,
hal ini tidak luput dari musik Korea
yang sudah mendunia. Berbicara tentang bahasa Korea ternyata di Indonesia ada
suatu tempat yang menggunakan Huruf Korea (Hanguel) untuk menulis dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Sekolah yang ada disana mulai dari SD sampai SMA
menggunakan Hanguel. Huruf Korea (Hanguel) ini dipakai oleh Suku Cia-cia di
Sulawesi Tenggara. Tentu hal ini sangat menarik untuk dipelajari, karena suku
cia-cia adalah suku asli Indonesia tapi malah menggunakan Huruf Korea (Hanguel)
bukan menggunakan huruf latin (alphabet).
2. Tujuan
v
Memenuhi
tugas mata kuliah Antropologi
v
Untuk
lebih mengetahui keragaman bahasa dan budaya yang ada di Indonesia
v
Menambah
pengetahuan kita dalam bidang Antropologi.
BAB II
PEMBAHASAN
Suku
Cia-Cia
Suku minoritas
dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa, tinggal di pulau Buton, Sulawesi
Tenggara, Indonesia. Sebagai pekerjaan pokok mereka, bertanam jagung, padi dan
singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap ikan dan membuat kapal. 95%
penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah sendiri juga masih banyak
berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000 orang penduduk tinggal di
kota Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat administrasi di pulau
Buton. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena
kekurangan sistem penulisan yang tepat.
A. Hangeul (Alphabet Korea)
Suku
minoritas memilih Hangeul sebagai sistem alphabet
mereka,karena Hangeul dapat dituliskan bahasa
asli mereka secara lebih tepat daripada huruf bahasa Indonesia, (alphabet
Inggris/ Latin yang kita biasa digunakan). Setelah bahasa Cia-cia
terancam punah, lalu Lembaga riset Hunminjeongum di Korea mengusulkan penerapan
Hangeul. Kedua pihak menandatangani Nota Kesepahamanan pada tgl. 21 Juli, 2009.
Dalam proses itu, lembaga riset sudah menerbitkan buku pelajaran untuk suku itu
untuk belajar bahasa Korea, melanjutkan studi untuk guru berbahasa Korea,
membangun pusat Hangeul dll. Satu tahun kemudian sejak penerapan Hangeul itu,
pemerintah pusat Indonesia mengesahkannya secara resmi.
Ternyata sebuah suku
Cia-cia di kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara di kota Bau-bau
sekolah-sekolahnya mulai dari SD sampai SMU dimulai tahun 2008 mereka
menggunakan hurup abjad dari Korea Selatan. Sebenarnya Buton sendiri memiliki
bahasa dan aksara sendiri, yaitu bahasa Wolio dengan aksara berupa hurup gundul
arab. Sementara suku Pancana, Cia-cia dan Wosai hanya memiliki bahasa saja dan
tak memiliki aksara.
Suku Cia-cia dengan
jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa tinggal di pulau Buton. mata
pencaharian mereka adalah bertanam jagung, padi dan singkong. Sebagian
lagi matapencaharian mereka adalah sebagai nelayan dan membuat
kapal. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena
kekurangan sistem penulisan yang tepat.
Buton punya catatan
sejarah penting sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahasa Cia-cia jika
ditulis dalam abjad melayu ada banyak kalimat atau kata yang tidak bisa
ditulis. Sementara jika ditulis menggunakan aksara Arab gundul, akan berbeda
makna jika setelah ditulis dan diucapkannya. Hanya dengan aksara Hangeul Korea
semua bunyi itu bisa ditulis. Karena menghindari kepunahan dari bahasa Cia-Cia
maka hurup abjad Hangeul Korea digunakan.
Abjad
hanguel yang sejatinnya memiliki 28 hurup itu diperkenalkan pertama kali oleh
seorang raja Sejong The Gread di tahun 1443. Bahkan konon di museum kerajaan
korea yang terdapat dibawah tanah ada sebuah paviliun Bau-bau yang isinya
tentang suku Cia-Cia.
Walikota Seoul Oh
Se-hoor pada 22 Desember 2009 menandatangani surat persetujuan untuk
mengkampanyekan Hangeul dan pertukaran budaya. Pemerintah kota Seoul akan
membantu mendirikan sebuah pusat pelatihan untuk guru-guru bahasa di kota
Bau-bau.
Bahasa
Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah
sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Bau-Bau di selatan Pulau Buton di yang terletak di tenggara Pulau
Sulawesi di Indonesia.
Pada tahun 2009,
bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangul Korea untuk dijadikan sistem tulisan
bahasa Cia-Cia
Pada tahun 2005 ada 80,000 orang
penutur bahasa Cia-Cia, 95% diantaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan
kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah.
Bahasa
Cia-Cia ditutur di Sulawesi Tenggara, Pulau Buton Selatan, Pulau Binongko, dan Pulau
Batu Atas. Menurut
kisah lama, penutur bahasa Cia-Cia di Binongko berketurunan bala tentara Buton
yang dipimpin oleh Sultan Buton.
Nama
bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti
'tidak'. Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari
bahasa Belanda) bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung)
Selatan.
Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang
dipahami secara teliti. Antara logat-logat Cia-Cia termasuk Kaesabu,
Sampolawa (Mambulu-Laporo), Wabula dan Masiri. Loghat Masiri paling banyak
kosakatanya dibanding logat baku.
Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan
sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda
untuk bunyi vokal.Pada tahun 2009, bahasa Cia-Cia menarik perhatian dunia
karena Kota Bau-Bau memutuskan agar tulisan Hangul dari Korea digunakan untuk
menulis bahasa Cia-Cia, dan mengajar
anak-anaknya sistem tulisan baru ini berpandukan buku teks yang dihasilkan oleh Persatuan Hunminjeongeum.
Institut tersebut telah
bertahun-tahun bertungkus-lumus
menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tiada sistem
tulisan sendiri di merata Asia.
Abjad Cia-Cia [11]
|
||||||||||||||||||
Konsonan
|
ㄱ
|
ㄲ
|
ㄴ
|
ㄷ
|
ㅌ
|
ㄸ
|
ㄹ
|
ᄙ*
|
ㅁ
|
ㅂ
|
ㅸ
|
ㅍ
|
ㅃ
|
ㅅ
|
ㅇ
|
ㅈ
|
ㅉ
|
ㅎ
|
Latin
|
g
|
k
|
n
|
d
|
dh
|
t
|
r, l
|
m
|
b
|
v
|
bh
|
p
|
s
|
tiada (awal), ', ng (tengah,
akhir)
|
j
|
c
|
h
|
|
IPA
|
[ɡ]
|
[k]
|
[n]
|
[ɗ]
|
[d]
|
[t]
|
[r], [l]
|
[m]
|
[ɓ]
|
[β]
|
[b]
|
[p]
|
[s]
|
-, [ʔ], [ŋ]
|
[dʒ]
|
[tʃ]
|
[h]
|
|
Vokal
|
ㅏ
|
ㅔ
|
ㅗ
|
ㅜ
|
ㅣ
|
|||||||||||||
Latin
|
a
|
e
|
o
|
u
|
i
|
|||||||||||||
IPA
|
[a]
|
[e]
|
[o]
|
[u]
|
[i]
|
* ᄙ bukanlah
huruf yang terpisah. Konsonan /r/ dan /l/ tengah dibedakan dengan menulis huruf
ㄹ tunggal untuk /r/ dan
ganda untuk /l/. Huruf ㄹ ganda harus ditulis
dalam dua suku kata. Konsonan /l/ akhir ditulis dengan huruf ㄹ tunggal; untuk konsonan
/r/ akhir, huruf vokal kosong ㅡ ditambah. Huruf vokal
kosong (으) juga digunakan untuk /l/
awal.
Dalam proses menyesuaikan hangul dalam struktur
bahasa Cia-Cia, huruf ㅸ yang tidak terpakai
dalam bahasa Korea, digunakan lagi untuk mewakili konsonan /v/.
Contoh:
아디 세링 빨리 노논또 뗄레ᄫᅵ시. 아마노 노뽀옴바에 이아 나누몬또 뗄레ᄫᅵ시 꼴리에 노몰렝오.
Adi sering pali nononto televisi. Amano
nopo'ombae ia nanumonto televisi kolie nomolengo.
Angka 1–10
|
||||||||||
satu
|
dua
|
Tiga
|
empat
|
lima
|
enam
|
tujuh
|
delapan
|
sembilan
|
Sepuluh
|
|
디세
|
루아
|
똘루
|
빠아
|
을리마
|
노오
|
삐쭈
|
활루
|
시우아
|
옴뿔루
|
|
dise
|
rua
|
Tolu
|
pa'a
|
lima
|
no'o
|
picu
|
walu
|
siua
|
Ompulu
|
§ 부리 buri 'menulis'
§
뽀가우 pogau 'berbicara'
§ 까아나 ka'ana 'rumah'
§ 시골라 sigola 'sekolah'
§ 사요르 sayor 'sayur'
§ 따리마 까시 Tarima kasi 'Terima
kasih'
§ 인다우 미아노 찌아찌아 Indau
miano Cia-Cia 'Saya orang Cia-Cia'
§ 인다우 뻬엘루 이소오 Indau
pe'elu iso'o 'Saya cinta kamu'
§ 모아뿌 이사우 Moapu isau 'Maafkan
saya'
§ 움베 Umbe 'Ya'
§ 찌아 Cia 'Tidak'
§ Bahasa-bahasa Muna-Butonsunting
2.
^ a b c Agence
France-Presse, "Southeast Sulawesi
Tribe Using Korean Alphabet to Preserve Native Tongue", Jakarta Globe,6
Agustus 2009
12. ^ (Korea) "사라질 소수민족 언어 ‘한글’로 새 생명(Hangul which brings
the new life to the Cia-Cia people) ", (경향신문 (京鄉新聞)/Kyunghyang Sinmun),
6 Agustus 2009. Diakses pada 9 Agustus 2009.
Pada tanggal 22 Juli 2011, harian ini
menurunkan artikel Cho Tae Young bertajuk refleksi dua tahun pengajaran aksara
Hanguel-Korea di Kota Bau-Bau, tepatnya pada masyarakat Cia-cia. Artinya, sudah
dua tahun pengguna kebudayaan asing itu melewati masa senjanya dari kebudayaan
daerah (Buton) dan nasional. Atas dasar itulah, artikel ini diketengahkan
sebagai bahan penyadar dini akan ancaman matinya kebudayaan daerah, seperti
juga disitir oleh Young.
Sekilas
pandang, sebagian kalangan berpendapat bahwa usaha adaptasi kebudayaan Korea di
masyarakat Cia-Cia adalah langkah maju dalam persetubuhan kebudayaan asing
dengan keudayaan lokal, yang nota bone memiliki berakar budaya Buton.Mengapa
itu terjadi?
Masalah
ini seharusnya dijawab dengan terang benderang oleh Pemerintah Kota Bau-bau
yang telah membuka pintu Malige bagi adaptasi kebudayaan ini. Itu juga
membuktikan, bahwa telah kian lama Pemerintah abai merawat dan membina
kebudayaan daerah. Sikap yang demikian kontradiksi dengan usaha Pemerintah
dalam membangun kebudayaan nasional, ranah mana tempat bersemainya kebudayaan
daerah yang secara antropologi terdiri dari 500 kelompok etnik dengan ciri-ciri bahasa dan kultur
tersendiri. Bila pembiaran itu terus terjadi, maka terbuka kemungkinan
peristiwa Matinya Kebudayaan Daerah, atau Krisis Kepribadian
Bangsa dalam bahasa Bung Karno. Untuk menata kehidupan di masa mendatang, kata
Bung Karno pada pidato monumentalnya yang menandai lahirnya Pancasila 1 Juni
1945, kita harus mempunyai landasan kepribadian yang kokoh dan digali dari
situs kebudayaan daerah kita yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
Tetapi,
sudahkah penggalian kebudayaan itu dilakukan secara serius dan berkelanjutan?
Oleh siapa dan untuk apa? Tak jarang upaya macam itu semata dilakukan oleh
kalangan akademik sekadar menuntaskan kewajiban penempaan ilmiah akhirnya di
meja studi, atau peneliti pada proyek risetnya. Sangat jarang ditemukan orang
yang bergiat melakukan ikhtiar ilmiah dan kebudayaan tersebut demi pelestarian
budaya daerah dan pembangunan bangsa.
B. MENGAPA KEBUDAYAAN KOREA?
Pertanyaan
ini diajukan untuk memastikan titik pijak Pemerintah melegalkan adaptasi
kebudayaan Korea bagi kaum belia akademik Cia-cia. Objek sasaran ini sangat
strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda Buton ditengah samudera
budaya daerah dan global.
Dalam batas cakupan
jelajah akademik saya selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya
sosialisasi dan adaptasi ini tidak memiliki pijak yang kuat. Bahkan, hal itu
tak lain dari gerak rantai pematian kebudayaan Buton. Pemilihan dan
penggunaan aksara sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan
sepatutnya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya. Sebagai
contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa
Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga pemungsian aksara
Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan interaksi
masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya pada periode
Hindu-Budha. Penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada
sejumlah naskah Buton merupakan buah interaksi pendukung kebudayaan itu di masa
lalu. Aksara dan bahasa Arab, sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi,
tersebar seiring perkembangan agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa
awalnya adalah Syekh Abdul Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah
menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim Nusantara.
Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal sejarah politik Buton
di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga dikenal dengan Mia Pata
Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan Sitamanajo) yang mendirikan
Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di Semenanjung.
Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.
Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.
Dalam
tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama adalah Wa Kaa Kaa
berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang menetap dan menjadi
raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa Kaa mendarat di
Wabula Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku Cangia menuju
Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa inilah, menurut
tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di Wabula). Lalu,
bagaimana akar serupa dapat ditunjukkan untuk aspek kebudayan Korea yang kini
dipilih sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan bagi kaum belia
akademik Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea
bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti
diungkapkan oleh Young dalam artikelnya, mengapa alas usahanya tidak bertumpu
pada pemupukan kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga terjaga
kelangsunganya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan anasir
kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan kapitalisme modern.
C. BERALTERNATIF
Penggunaan
aksara Hangul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh
Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi
mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah
yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah
kekayaan kebudayaan nasional tergadai.
Masyarakat
Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan
pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang
memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo
(Selayar).
Ketiganya,
dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi
(Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan
itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara
sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk
menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang
dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang
kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan
Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah
demi masa depan kebudayaan nasional.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Suku cia ciaadalah suku minoritas dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa,
tinggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Sebagai pekerjaan pokok
mereka, bertanam jagung, padi dan singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap
ikan dan membuat kapal. 95% penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah
sendiri juga masih banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000
orang penduduk tinggal di kota Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat
administrasi di pulau Buton. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun
terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat. Suku
minoritas memilih Hangeul sebagai sistem alphabet
mereka,karena Hangeul dapat dituliskan bahasa
asli mereka secara lebih tepat daripada huruf bahasa Indonesia, (alphabet
Inggris/ Latin yang kita biasa digunakan). Setelah bahasa Cia-cia
terancam punah, lalu Lembaga riset Hunminjeongum di Korea mengusulkan penerapan
Hangeul. Kedua pihak menandatangani Nota Kesepahamanan pada tgl. 21 Juli, 2009.
Dalam proses itu, lembaga riset sudah menerbitkan buku pelajaran untuk suku itu
untuk belajar bahasa Korea, melanjutkan studi untuk guru berbahasa Korea,
membangun pusat Hangeul dll. Satu tahun kemudian sejak penerapan Hangeul itu,
pemerintah pusat Indonesia mengesahkannya secara resmi.