Jumat, 07 Juni 2013

antropologi



PENGGUNAAN HANGEUL KOREA OLEH SUKU CIACIA DI BAUBAU SULAWESI TENGGARA



BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang

Sekarang ini wabah  Korea sudah menyebabar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Minat masyarakat untuk mengetahui lebih banyak tentang negeri ginseng tersebut sangat tinggi. terutama di kalangan remaja, namun bukan hanya kaum remaja saja yang tergila-gila pada semua hal yang berbau Korea, tapi juga para orang tua. Semua tentang Korea menarik untuk dipelajari. Mulai dari musiknya, makanan, tempat wisata, sampai bahasanya.

Banyak orang yang sudah bisa mengucapkan kosa kata Korea, hal ini tidak luput dari musik  Korea yang sudah mendunia. Berbicara tentang bahasa Korea ternyata di Indonesia ada suatu tempat yang menggunakan Huruf Korea (Hanguel) untuk menulis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sekolah yang ada disana mulai dari SD sampai SMA menggunakan Hanguel. Huruf Korea (Hanguel) ini dipakai oleh Suku Cia-cia di Sulawesi Tenggara. Tentu hal ini sangat menarik untuk dipelajari, karena suku cia-cia adalah suku asli Indonesia tapi malah menggunakan Huruf Korea (Hanguel) bukan menggunakan huruf latin (alphabet).



2.      Tujuan

v  Memenuhi tugas mata kuliah Antropologi
v  Untuk lebih mengetahui keragaman bahasa dan budaya yang ada di Indonesia
v  Menambah pengetahuan kita dalam bidang Antropologi.




BAB II
PEMBAHASAN


Suku Cia-Cia
Suku minoritas dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa, tinggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Sebagai pekerjaan pokok mereka, bertanam jagung, padi dan singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap ikan dan membuat kapal. 95% penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah sendiri juga masih banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000 orang penduduk tinggal di kota Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat administrasi di pulau Buton. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat.

A.    Hangeul (Alphabet Korea)
Suku minoritas memilih Hangeul sebagai sistem alphabet mereka,karena Hangeul dapat dituliskan bahasa asli mereka secara lebih tepat daripada huruf bahasa Indonesia, (alphabet Inggris/ Latin yang kita biasa digunakan). Setelah bahasa Cia-cia terancam punah, lalu Lembaga riset Hunminjeongum di Korea mengusulkan penerapan Hangeul. Kedua pihak menandatangani Nota Kesepahamanan pada tgl. 21 Juli, 2009. Dalam proses itu, lembaga riset sudah menerbitkan buku pelajaran untuk suku itu untuk belajar bahasa Korea, melanjutkan studi untuk guru berbahasa Korea, membangun pusat Hangeul dll. Satu tahun kemudian sejak penerapan Hangeul itu, pemerintah pusat Indonesia mengesahkannya secara resmi.
Ternyata sebuah suku Cia-cia di kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara di kota Bau-bau sekolah-sekolahnya mulai dari SD sampai SMU dimulai tahun 2008 mereka menggunakan hurup abjad dari Korea Selatan. Sebenarnya Buton sendiri memiliki bahasa dan aksara sendiri, yaitu bahasa Wolio dengan aksara berupa hurup gundul arab. Sementara suku Pancana, Cia-cia dan Wosai hanya memiliki bahasa saja dan tak memiliki aksara.





13063913851557210023
 






Suku Cia-cia dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa tinggal di pulau Buton.  mata pencaharian mereka adalah  bertanam jagung, padi dan singkong. Sebagian lagi matapencaharian mereka adalah sebagai nelayan dan membuat kapal.  Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat.
1306393969888956461Buton punya catatan sejarah penting sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahasa Cia-cia jika ditulis dalam abjad melayu ada banyak kalimat atau  kata yang tidak bisa ditulis. Sementara jika ditulis menggunakan aksara Arab gundul, akan berbeda makna jika setelah ditulis dan diucapkannya. Hanya dengan aksara Hangeul Korea semua bunyi itu bisa ditulis. Karena menghindari kepunahan dari bahasa Cia-Cia maka hurup abjad Hangeul Korea digunakan.











Abjad hanguel yang sejatinnya memiliki 28 hurup itu diperkenalkan pertama kali oleh seorang raja Sejong The Gread di tahun 1443. Bahkan konon di museum kerajaan korea yang terdapat dibawah tanah ada sebuah paviliun Bau-bau yang isinya tentang suku Cia-Cia.
Walikota Seoul Oh Se-hoor pada 22 Desember 2009 menandatangani surat persetujuan untuk mengkampanyekan Hangeul dan pertukaran budaya. Pemerintah kota Seoul akan membantu mendirikan sebuah pusat pelatihan untuk guru-guru bahasa di kota Bau-bau.

Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Bau-Bau di selatan Pulau Buton di yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia.
Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia
Pada tahun 2005 ada 80,000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% diantaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah.

Bahasa Cia-Cia ditutur di Sulawesi TenggaraPulau Buton Selatan, Pulau Binongko, dan Pulau Batu Atas. Menurut kisah lama, penutur bahasa Cia-Cia di Binongko berketurunan bala tentara Buton yang dipimpin oleh Sultan Buton.

Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti 'tidak'. Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda) bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan.
Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Antara logat-logat Cia-Cia termasuk Kaesabu, Sampolawa (Mambulu-Laporo), Wabula dan Masiri. Loghat Masiri paling banyak kosakatanya dibanding logat baku.

Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal.Pada tahun 2009, bahasa Cia-Cia menarik perhatian dunia karena Kota Bau-Bau memutuskan agar tulisan Hangul dari Korea digunakan untuk menulis bahasa Cia-Cia, dan mengajar anak-anaknya sistem tulisan baru ini berpandukan buku teks yang dihasilkan oleh Persatuan Hunminjeongeum
Institut tersebut telah bertahun-tahun bertungkus-lumus menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tiada sistem tulisan sendiri di merata Asia.
Abjad Cia-Cia [11]
Konsonan
*
Latin
g
k
n
d
dh
t
r, l
m
b
v
bh
p
s
tiada (awal), ', ng (tengah, akhir)
j
c
h
IPA
[ɡ]
[k]
[n]
[ɗ]
[d]
[t]
[r], [l]
[m]
[ɓ]
[β]
[b]
[p]
[s]
-, [ʔ], [ŋ]
[dʒ]
[tʃ]
[h]
Vokal













Latin
a
e
o
u
i













IPA
[a]
[e]
[o]
[u]
[i]




















* bukanlah huruf yang terpisah. Konsonan /r/ dan /l/ tengah dibedakan dengan menulis huruf tunggal untuk /r/ dan ganda untuk /l/. Huruf ganda harus ditulis dalam dua suku kata. Konsonan /l/ akhir ditulis dengan huruf tunggal; untuk konsonan /r/ akhir, huruf vokal kosong ditambah. Huruf vokal kosong () juga digunakan untuk /l/ awal.
Dalam proses menyesuaikan hangul dalam struktur bahasa Cia-Cia, huruf yang tidak terpakai dalam bahasa Korea, digunakan lagi untuk mewakili konsonan /v/.
Contoh:
아디 세링 빨리 노논또 뗄레ᄫᅵ시. 아마노 노뽀옴바에 이아 나누몬또 뗄레ᄫᅵ시 꼴리에 노몰렝오.
Adi sering pali nononto televisi. Amano nopo'ombae ia nanumonto televisi kolie nomolengo.
Angka 1–10
satu
dua
Tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
Sepuluh
Bahasa Cia-Cia (Hangul)
디세
루아
똘루
빠아
을리마
노오
삐쭈
활루
시우아
옴뿔루
dise
rua
Tolu
pa'a
lima
no'o
picu
walu
siua
Ompulu



§  부리 buri 'menulis'
§  뽀가우 pogau 'berbicara'
§  바짜안 baca'an 'membaca.'[15][13]
§  까아나 ka'ana 'rumah'
§  시골라 sigola 'sekolah'
§  사요르 sayor 'sayur'
§  보꾸 boku 'buku'[16][17]
§  따리마 까시 Tarima kasi 'Terima kasih'
§  인다우 미아노 찌아찌아 Indau miano Cia-Cia 'Saya orang Cia-Cia'
§  인다우 뻬엘루 이소오 Indau pe'elu iso'o 'Saya cinta kamu'
§  모아뿌 이사우 Moapu isau 'Maafkan saya'
§  움베 Umbe 'Ya'
§  찌아 Cia 'Tidak'

§  Bahasa-bahasa Muna-Butonsunting
1.    ^ a b c d e f g Bahasa Cia-Cia di Ethnologue
2.    ^ a b c Agence France-Presse, "Southeast Sulawesi Tribe Using Korean Alphabet to Preserve Native Tongue", Jakarta Globe,6 Agustus 2009
5.    ^ Noorduyn, J. 1991. "A critical survey of studies on the languages of Sulawesi" p. 131.
6.    ^ Noorduyn, J. 1991. "A critical survey of studies on the languages of Sulawesi" p. 130.
7.    ^ Donohue, Mark. 1999. "A grammar of Tukang Besi". p. 6.
8.    ^ Korea Times, 2009-08-06
11.  ^ slideshow

Pada tanggal 22 Juli 2011, harian ini menurunkan artikel Cho Tae Young bertajuk refleksi dua tahun pengajaran aksara Hanguel-Korea di Kota Bau-Bau, tepatnya pada masyarakat Cia-cia. Artinya, sudah dua tahun pengguna kebudayaan asing itu melewati masa senjanya dari kebudayaan daerah (Buton) dan nasional. Atas dasar itulah, artikel ini diketengahkan sebagai bahan penyadar dini akan ancaman matinya kebudayaan daerah, seperti juga disitir oleh Young.
Sekilas pandang, sebagian kalangan berpendapat bahwa usaha adaptasi kebudayaan Korea di masyarakat Cia-Cia adalah langkah maju dalam persetubuhan kebudayaan asing dengan keudayaan lokal, yang nota bone memiliki berakar budaya Buton.Mengapa itu terjadi?

Masalah ini seharusnya dijawab dengan terang benderang oleh Pemerintah Kota Bau-bau yang telah membuka pintu Malige bagi adaptasi kebudayaan ini. Itu juga membuktikan, bahwa telah kian lama Pemerintah abai merawat dan membina kebudayaan daerah. Sikap yang demikian kontradiksi dengan usaha Pemerintah dalam membangun kebudayaan nasional, ranah mana tempat bersemainya kebudayaan daerah yang secara antropologi terdiri dari 500 kelompok etnik dengan ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri. Bila pembiaran itu terus terjadi, maka terbuka kemungkinan peristiwa Matinya Kebudayaan Daerah, atau Krisis Kepribadian Bangsa dalam bahasa Bung Karno. Untuk menata kehidupan di masa mendatang, kata Bung Karno pada pidato monumentalnya yang menandai lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, kita harus mempunyai landasan kepribadian yang kokoh dan digali dari situs kebudayaan daerah kita yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
Tetapi, sudahkah penggalian kebudayaan itu dilakukan secara serius dan berkelanjutan? Oleh siapa dan untuk apa? Tak jarang upaya macam itu semata dilakukan oleh kalangan akademik sekadar menuntaskan kewajiban penempaan ilmiah akhirnya di meja studi, atau peneliti pada proyek risetnya. Sangat jarang ditemukan orang yang bergiat melakukan ikhtiar ilmiah dan kebudayaan tersebut demi pelestarian budaya daerah dan pembangunan bangsa. 

B.     MENGAPA KEBUDAYAAN KOREA?
Pertanyaan ini diajukan untuk memastikan titik pijak Pemerintah melegalkan adaptasi kebudayaan Korea bagi kaum belia akademik Cia-cia. Objek sasaran ini sangat strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda Buton ditengah samudera budaya daerah dan global.
Dalam batas cakupan jelajah akademik saya selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi ini tidak memiliki pijak yang kuat. Bahkan, hal itu tak lain dari gerak rantai pematian kebudayaan Buton. Pemilihan dan penggunaan aksara sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan sepatutnya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga pemungsian aksara Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya pada periode Hindu-Budha. Penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada sejumlah naskah Buton merupakan buah interaksi pendukung kebudayaan itu di masa lalu. Aksara dan bahasa Arab, sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi, tersebar seiring perkembangan agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa awalnya adalah Syekh Abdul Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim Nusantara. Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal sejarah politik Buton di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga dikenal dengan Mia Pata Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan Sitamanajo) yang mendirikan Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di Semenanjung.
Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.
                                                                                                                                       
Dalam tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama adalah Wa Kaa Kaa berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang menetap dan menjadi raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa Kaa mendarat di Wabula Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku Cangia menuju Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa inilah, menurut tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di Wabula). Lalu, bagaimana akar serupa dapat ditunjukkan untuk aspek kebudayan Korea yang kini dipilih sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan bagi kaum belia akademik Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Young dalam artikelnya, mengapa alas usahanya tidak bertumpu pada pemupukan kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga terjaga kelangsunganya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan anasir kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan kapitalisme modern.

C.   BERALTERNATIF
Penggunaan aksara Hangul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah kekayaan kebudayaan nasional tergadai.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo (Selayar). 

Ketiganya, dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi (Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional.
































BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Suku cia ciaadalah suku minoritas dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa, tinggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Sebagai pekerjaan pokok mereka, bertanam jagung, padi dan singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap ikan dan membuat kapal. 95% penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah sendiri juga masih banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000 orang penduduk tinggal di kota Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat administrasi di pulau Buton. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat. Suku minoritas memilih Hangeul sebagai sistem alphabet mereka,karena Hangeul dapat dituliskan bahasa asli mereka secara lebih tepat daripada huruf bahasa Indonesia, (alphabet Inggris/ Latin yang kita biasa digunakan). Setelah bahasa Cia-cia terancam punah, lalu Lembaga riset Hunminjeongum di Korea mengusulkan penerapan Hangeul. Kedua pihak menandatangani Nota Kesepahamanan pada tgl. 21 Juli, 2009. Dalam proses itu, lembaga riset sudah menerbitkan buku pelajaran untuk suku itu untuk belajar bahasa Korea, melanjutkan studi untuk guru berbahasa Korea, membangun pusat Hangeul dll. Satu tahun kemudian sejak penerapan Hangeul itu, pemerintah pusat Indonesia mengesahkannya secara resmi.